MAKALAH TENTANG PENGERTIAN, KEDUDUKAN, DAN FUNGSI HADIST
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Al-Hadits
merupakan sumber ajaran islam, yang kedua dari Al-Qur’an. Dilihat dari sudut
periwayatannya, jelas antara Hadits dan Al-Qur’an terdapat perbedaan. Untuk
Al-Qur’an semua periwayatannya berlangsung secara mutawatir. Sedangkan
periwayatan Hadits sebagian berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi
berlangsung secara ahad. Sehingga mulai dari sinilah timbul berbagai pendapat
dalam menilai kualitas hadits. Sekaligus sumber perdebatan dalam kancah ilmiah,
atau bahkan dalam kancah-kancah non ilmiah. Akibatnya bukan kesepakatan yang
didapatkan, akan tetapi sebaliknya perpecahan yang terjadi.
Oleh karena itu
timbul sebuah pertanyaan apakah hadist dapat dijadikan sebuah hujjah atau
tidak..?? maka kami pemakalah coba membahas beberapa hal yang terkait dengan
al-hadits sebagaimana terangkum dalam rumusan masalah sebagai berikut.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Pengertian
2.
Kedudukan
3.
Fungsi
4.
Hubungan
dengan Al-Qur’an
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Al-Hadits
Hadits menurut
bahasa yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau waktu yang
singkat. Hadits juga berarti berita yaitu sesuatu yang diberitakan,
diperbincangkan, dan dipindahkan dari seorang kepada orang lain.
Hadits menurut
istilah syara’ ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW, baik itu ucapan,
perbuatan, atau pengakuan (taqrir). Berikut ini adalah penjelasan mengenai
ucapan, perbuatan, dan perkataan.
Hadits
Qauliyah ( ucapan) yaitu hadits hadits Rasulullah SAW, yang
diucapkannya dalam berbagai tujuan dan persuaian (situasi).
Hadits
Fi’liyah yaitu perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad SAW,
seperti pekerjaan melakukan shalat lima
waktu dengan tatacaranya dan rukun-rukunnya, pekerjaan menunaikan ibadah
hajinya dan pekerjaannya mengadili dengan satu saksi dan sumpah dari pihak
penuduh.
Hadits
Taqririyah yaitu perbuatan sebagian para sahabat
Nabi yang telah diikrarkan oleh Nabi SAW, baik perbuatan itu berbentuk ucapan
atau perbuatan, sedangkan ikrar itu adakalanya dengan cara mendiamkannya, dan
atau melahirkan anggapan baik terhadap perbuatan itu, sehingga dengan adanya
ikrar dan persetujuan itu. Bila seseorang melakukan suatu perbuatan atau
mengemukakan suatu ucapan dihadapan Nabi atau pada masa Nabi, Nabi mengetahui
apa yang dilakukan orang itu dan mampu menyanggahnya, namun Nabi diam dan tidak
menyanggahnya, maka hal itu merupakan pengakuan dari Nabi. Keadaan diamnya Nabi
itu dapat dilakukan pada dua bentuk :
Pertama,
Nabi mengetahui bahwa perbuatan itu pernah dibenci dan dilarang oleh Nabi.
Dalam hal ini kadang-kadang Nabi mengetahui bahwa siapa pelaku berketerusan
melakukan perbuatan yag pernah dibenci dan dilarang itu. Diamnya Nabi dalam
bentuk ini tidaklah menunjukkan bahwa perbuatan tersebut boleh dilakukannya.
Dalam bentuk lain, Nabi tidak mengetahui berketerusannya si pelaku itu
melakukan perbuatan yang di benci dan dilarang itu. Diamnya Nabi dalam bentuk
ini menunjukkan pencabutan larangan sebelumnya.
Kedua,
Nabi belum pernah melarang perbuatan itu sebelumnya dan tidak diketahui pula haramnya.
Diamnya Nabi dalam hal ini menunjukkan hukumnya adalah meniadakan keberatan
untuk diperbuat. Karena seandainya perbuatan itu dilarang, tetapi Nabi
mendiamkannya padahal ia mampu untuk mencegahnya, berarti Nabi berbuat kesaahan
; sedangkan Nabi terhindar bersifat terhindar dari kesalahan.
B.
Kedudukan
Hadits
Dalam
kedudukannya sebagai penjelas, hadits kadang-kadang memperluas hukum dalam
Al-Qur’an atau menetapkan sendiri hukum di luar apa yang ditentukan Allah dalam
Al-Quran.
Kedudukan
Hadits sebagai bayani atau
menjalankan fungsi yang menjelaskan hukum Al-Quran, tidak diragukan lagi dan
dapat di terima oleh semua pihak, karena memang untuk itulah Nabi di tugaskan
Allah SWT. Namun dalam kedudukan hadits sebagai dalil yang berdiri sendiri dan
sebagai sumber kedua setelah Al-Quran, menjadi bahan perbincangan dikalangan
ulama. Perbincangan ini muncul di sebabkan oleh keterangan Allah sendiri yang
menjelaskan bahwa Al-Quran atau ajaran Islam itu telah sempurna. Oleh karenanya
tidak perlu lagi ditambah oleh sumber lain.
Jumhur
ulama berpendapat bahwa Hadits berkedudukan sebagai sumber atau dalil kedua
setelah Al-Quran dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk
semua umat Islam. Jumhur ulama mengemukakan alasannya dengan beberapa dalil, di
antaranya :
1. Banyak
ayat Al-Qur’an yang menyuruh umat mentaati Rasul. Ketaatan kepada rasull sering
dirangkaikan dengan keharusan mentaati Allah ; seperti yang tersebut dalam
surat An-Nisa : 59 :
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqß§9$#
59.
Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Nya),
Bahkan dalam
tempat lain Al-Quran mengatakan bahwa oang yang mentaati Rasul berarti mentaati
Allah, sebagaimana tersebut dalam surat An-Nisa : 80:
`¨B ÆìÏÜã tAqß§9$# ôs)sù tí$sÛr& ©!$# ( `tBur 4¯<uqs? !$yJsù y7»oYù=yör& öNÎgøn=tæ $ZàÏÿym ÇÑÉÈ
80. Barangsiapa yang mentaati
Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling
(dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi
mereka.
Yang dimaksud
dengan mentaati Rasul dalam ayat-ayat tersebut adalah mengikuti apa-apa yang
dilakukan atau dilakukan oleh Rasul sebagaimana tercakup dalam Sunnahnya.
Dari ayat diatas
jelaslah bahwa Hadits itu adalah juga wahyu. Bla wahyu mempunyai kekuatan
sebagai dalil hukum, maka hadits pun mempunyai kekuatan hukum untuk dipatuhi.
Kekuatan hadits sebagai sumber hukum ditentukan oleh dua segi: pertama, dari segi kebenaran materinya
dan kedua dari segi kekuatan
penunjukannya terhadap hukum. Dari segi kebenaran materinya kekuatan hadits
mengikuti kebenaran pemberitaannya yang terdiri dari tiga tingkat, yaitu: mutawatir, masyhur, dan ahad sebagaimana dijelaskan diatas.
Khabar mutawatir
ditinjau dari segi kuantitas sahabat yang meiwayatkannya dari Nabi dan juga
kuantitas yang meriwayatkannya dari sahabat dan seterusnya adalah qath i dalam arti diyakini kebenarannya
bahwa hadits itu benar dari Nabi. Meskipun jumlah hadits mutawatir ini tidak
banyak namun mempunyai kekuatan sebagai dalil sebagaimana kekuatan Al-Qur’an.
Khabar mutawatir mempunyai kekuatan tertinggi di dalam periwayatan dan
menghasilkan kebenaran tentang apa yang diberitakan secara mutawatir sebagaima
kebenaran yang muncul dari hasil pengamatan. Para ulama sepakat mengatakan
bahwa khabar mutawatir menghasilkan ilmu
yakin meskipun mereka berbeda pendapat dalam menetapkan cara sampai kepada ilmu yakin itu secara tanpa memerlukan
pembuktian atau memerlukan pembuktian kebenarannya. Untuk sampainya khabar
mutawatir itu kepada ilmu yakin harus
terpenuhi syarat-syarat tertentu. Di antaranya syarat-syarat itu disepakati
oleh ulama dan syarat lainnya diperselisihkan. Syarat-syarat yang disepakati
ada yang menyangkut pembawa berita.
C.
Fungsi
Hadits
Dalam uraian
tentang Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat-ayat hukum dalam
Al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliyah belum dapat
dilaksanakan tanpa penjelasan dari hadits. Dengan demikian fungsi hadits yang
utama adalah untuk menjelaskan Al-Qur’an. Hal ini telah sesuai dengan
penjelasan Allah dalam surat An-Nahl :64:
!$tBur $uZø9tRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# wÎ) tûÎiüt7çFÏ9 ÞOçlm; Ï%©!$# (#qàÿn=tG÷z$# ÏmÏù ÇÏÍÈ
64. Dan Kami tidak menurunkan
kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada
mereka apa yang mereka perselisihkan itu.
Dengan demikian
bila Al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka Hadits disebut
sebagai bayani. Dalam kedudukannya
sebagai bayani dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, ia
menjalankan fungsi senagai berikut :
1. Menguatkan
dan mengaskan hukum-hukumyang tersebut dalam Al-Qur’an atau disebut fungsi ta’kid dan taqrir. Dalam bentuk ini Hadits hanya seperti mengulangi apa-apa
yang tersebut dalam Al-Qur’an. Umpanya Firman Allah dalam surat Al-Baqarah :110
yang artinya :
“ Dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat “ ayat itu dikuatkan
oleh sabda Nabi yang artinya :
“ Islam itu didirikan dengan lima pondasi : kesaksian bahwa tidak ada
tuhan selain Allah dan muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat,
menunaikan zakat.
2. Memberikan
penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an dalam hal :
a. Menjelaskan
arti yang masih samar dalam Al-Qur’an
b. Merinci
apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secari garis besar.
c. Membatasi
apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara umum
d. Memperluas
maksud dari sesuatu yang tersebut dalam Al-Qur’an
Contoh
menjelaskan arti kata dalam Al-Qur’an umpamanya kata shalat yang masih samar
artinya, karena dapat saja shalat itu berarti do’a sebagaimana yang biasa
dipahami secara umum waktu itu. Kemudian Nabi melakukan serangkaian perbuatan,
yang terdiri dari ucapan dan pebuatan secara jelas yang dimulai dari takbiratul ihram dan berakhir dengan salam. Sesudah itu Nabi bersabda : inilah shalat itu, kerjakanlah shalat
sebagimana kamu melihat saya mengerjakan shalat.
3. Menetapkan
suatu hukum dalam hadits yang secara jelas tidak terdapat dalam Al-Qur’an.
Dengan demikian kelihatan bahwa Hadits menetapkan sendiri hukumyang tidak
ditetapkan dalam Al-Qur’an. Fungsi hadits dalam bentuk ini disebut itsbat.
Sebenarnya bila diperhatikan dengan teliti akan jelas bahwa apa yang ditetapkan
hadits itu pada hakikatnya adalah penjelasan terhadap apa yang disinggung
Al-Qur’an atau memperluas apa yang disebutkan Al-Qur’an secara terbatas.
Umpamanya Allah SWT mengharamkan memakan bangkai, darah, dan daging babi.
Larangan Nabi ini menurut lahirnya dapat dikatakan sebagai hhukum baru yang
ditetapkan oleh Nabi, karena memang apa yang diharamkan Nabi ini secara jelas
tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Tetapi kalau dipahami lebih lanjut larangan
Nabi itu hanyalah sebagai penjelasan terhadap larangan Al-Qur’anlah memakan
sesuatu yang kotor.
D.
Hubungan
Hadits dengan Al-Qur’an
Bila kita lihat
dari fungsinya hubungan Hadits dengan Al-Qur’an sangatlah berkaitan. Karena
pada dasarnya Hadits berfungsi menjelaskan hukum-hukum dalam Al-Qur’an dalam
segala bentuknya sebagaimana disebutkan di atas. Allah SWT menetapkan hukum
dalam Al-Qur’an adalah untuk diamalkan, karena dalam pengalaman itulah terletak
tujuan yang digariskan. Tetapi pengalaman hukum Allah diberi penjelasan oleh
Nabi. Dengan demikian bertujuan supaya hukum-hukum yang ditetapkan Allah dalam
Al-Qur’an secara sempurna dapat dilaksanakan oleh umat.
Sebagaimana
dalam uraian tentang Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat hukum
dalam Al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliyah belum
dapat dilaksanakan tanpa penjelasan dari hadits. Dengan demikian keterkaitan
hadits dengan Al-Qur’an yang utama adalah berfungsi untuk menjelaskan
Al-Qur’an. Dengan demikian bila Al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi
hukum fiqh, maka hadits disebut sebagai bayani.
Dalam kedudukannya sebagai bayani
maka dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, Hadits menjalankan fungsi sebagai
berikut :
1. Menguatkan
dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam Al-Qur’an atau disebut fungsi ta’kid dan taqrir. Dalam bentuk ini Hadits hanya seperti mengulangi apa-apa
yang tersebut dalam Al-Qur’an.
2. Memberikan
penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an dalam hal :
a. Menjelaskan
arti yang masih samar dalam Al-Qur’an
b. Merinci
apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara garis besar
c. Membatasi
apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara umum
d. Memperluas
maksud dari suatu yang tersebut dalam Al-Qur’an
Contoh Hadits
yang merinci ayat Al-Qur’an yang masih garis besar, umpamanya tentang waktu-waktu
shalat yang masih secara garis besar disebutkan dalam surat An-Nisa : 103
¨bÎ) no4qn=¢Á9$# ôMtR%x. n?tã úüÏZÏB÷sßJø9$# $Y7»tFÏ. $Y?qè%öq¨B ÇÊÉÌÈ
Artinya : sesungguhnya shalat itu
adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.
Contoh hadits
yang membatasi maksud ayat Al-Qur’an yang adatang dalam bentuk umum, umpamanya hak
kewarisan anak laki-laki dan anak perempuan dalam surat An-Nisa :11:
ÞOä3Ϲqã ª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( Ìx.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# 4
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian
pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan
bagahian dua orang anak perempuan.
Ayat itu
dibatasi atau dikhususkan kepada anak-anak yang ia bukan penyebab kematian
ayahnya.
Contoh Hadits
memperluas apa yang dimaksud oleh Al-Qur’an, umpamanya firman Allah yang
melarang seorang laki-laki memadu dua orang wanita yang bersaudara dalam surat
An-Nisa ayat 23 yang artinya :
“
dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali
yang telah terjadi pada masa lampau”. (Q.S An-Nisa :23)
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Hadits
menurut bahasa yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau
waktu yang singkat. Hadits juga berarti berita yaitu sesuatu yang diberitakan,
diperbincangkan, dan dipindahkan dari seorang kepada orang lain.
2. Hadits
menurut istilah syara’ ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW, baik itu
ucapan, perbuatan, atau pengakuan (taqrir). Berikut ini adalah penjelasan
mengenai ucapan, perbuatan, dan perkataan.
3. Jumhur
ulama berpendapat bahwa Hadits berkedudukan sebagai sumber atau dalil kedua
setelah Al-Quran dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk
semua umat Islam.
4. fungsi
hadits yang utama adalah untuk menjelaskan Al-Qur’an
5. Bila
kita lihat dari fungsinya hubungan Hadits dengan Al-Qur’an sangatlah berkaitan.
Karena pada dasarnya Hadits berfungsi menjelaskan hukum-hukum dalam Al-Qur’an
dalam segala bentuknya sebagaimana disebutkan di atas. Allah SWT menetapkan
hukum dalam Al-Qur’an adalah untuk diamalkan, karena dalam pengalaman itulah
terletak tujuan yang digariskan.
DAFTAR PUSTAKA
Syarifudin, Amir, Haji, Ushul Fiqh – Cet. 1. Jakarta : Logos
Wacana Ilmu 1997
Drs, Mudasir,Haji, Ilmu Hadis- Cet. 1. Bandung : Pustaka
Setia, 1999
Pulungan, Suyuthi, Fiqh Siyasah : ajaran, sejarah dan pemikiran
Cet. 5. Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2002
Abu Zahroh, Ushul Fiqh, Bulan Bintang, Jakarta, 1980
Al-Shiddieqie, T.M. Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqh, Bulan Bintang,
Jakarta, 1999
0 comments:
Post a Comment