BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Jarimah adalah
(tindak pidana)didefinisikan oleh Imam al-Mawardi, segala larangan syara’
melakukan hal-hal yang dilarang atau meninggalkan hal-hal yang diwajibkan yang
diancam dengan hukum had atau ta’zir. Jarimah itu memiliki unsur umum dan unsur
khusus, unsur umum jarimah adalah unsur-unsur yang terdapat pada setiap jenis
jarimah, sedangkan unsur khusus jarimah adalah unsur-unsur yang hanya terdapat
pada jenis jarimah tertentu.
Sedangkan ta’zir adalah menolak dan mencegah kejahatan, juga
berarti menguatkan, memuliakan, dan
membantu. Ta’zir itu tergantung kepada tuntutan kemaslahatan. Jadi dari
pengertian diatas menyimpulkan bahwa jarimah ta’zir adalah; Tindak pidana yang
tidak ditentukan oleh Al-qur’an dan Hadist, berbeda dengan jarimah hudud;
Tindak pidana yang ditentukan oleh Al-qur’an dan Hadist.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Pengertian dan
Unsur Jarimah Ta’zir
2.
Pembagian
Jarimah Ta’zir
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
DAN UNSUR JARIMAH TA’ZIR
1. Pengertian
Jarimah hudud bisa berpindah
menjadi jarimah ta’zir bila ada syubhat, baik shubhat fi al fi’li, fi al fa’il
maupun fi al mahal. Demikian juga bila jarimah hudud tidak memenuhi syarat,
seperti percobaan pencurian dan percobaan pembunuhan. Bentuk lain dari jarimah
ta’zir adalah kejahatan yang bentuknya ditentukan oleh ulil amri sesuai dengan
nilai-nilai, prinsip-prinsip dan tujuan syari’ah, seperti peraturan lalu
lintas, pemeliharaan lingkungan hidup, memberi sanksi kepada aparat pemerintah
yang tidak disiplin dan lain-lain.
Secara bahasa ta’zir merupakan
mashdar (kata dasar) dari ‘azzaro yang berarti menolak dan mencegah kejahatan,
juga berarti menguatkan, memuliakan, membantu. Dalam al qur’an disebutkan :
(#qãZÏB÷sçGÏj9 «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur çnrâÌhyèè?ur çnrãÏj%uqè?ur çnqßsÎm7|¡è@ur Zotò6ç/ ¸xϹr&ur ÇÒÈ
“ Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya. dan bertasbih kepada-Nya di
waktu pagi dan petang.
tûïÏ%©!$# cqãèÎ7Ft tAqß§9$# ¢ÓÉ<¨Z9$# ¥_ÍhGW{$# Ï%©!$# ¼çmtRrßÅgs $¹/qçGõ3tB öNèdyYÏã Îû Ïp1uöqG9$# È@ÅgUM}$#ur NèdããBù't Å$rã÷èyJø9$$Î/ öNßg8pk÷]tur Ç`tã Ìx6YßJø9$# @Ïtäur ÞOßgs9 ÏM»t6Íh©Ü9$# ãPÌhptäur ÞOÎgøn=tæ y]Í´¯»t6yø9$# ßìÒtur öNßg÷Ztã öNèduñÀÎ) @»n=øñF{$#ur ÓÉL©9$# ôMtR%x. óOÎgøn=tæ 4 úïÏ%©!$$sù (#qãZtB#uä ¾ÏmÎ/ çnrâ¨tãur çnrã|ÁtRur (#qãèt7¨?$#ur uqZ9$# üÏ%©!$# tAÌRé& ÿ¼çmyètB
y7Í´¯»s9'ré& ãNèd cqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÎÐÈ
“ (yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, nabi
yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang
ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang
mereka dari segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan
belenggu-belenggu yang ada pada mereka, Maka orang-orang yang beriman
kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang
diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung”
Imam Al-Mawardi mendefinisikan
jarimah (tindak pidana) adalah sebagai berikut:
“ Segala
sesuatu larangan syara’, (melakukan hal-hal yang dilarang atau meninggalkan
hal-hal yang diwajibkan) dari Allah diancam hukuman had atau ta’zir”.
Hukuman ta’zir boleh dan harus
diterapkan sesuai dengan tuntutan kemaslahatan, dalam kaitan ini ada sebuah
kaidah yaitu sebagai berikut:
“Ta’zir itu
sangat tergantungbkepada tuntutan kemaslahatan”.
Ta’zir
juga berarti hukuman yang berupa memberi pelajaran. Di sebut dengan ta’zir,
karena hukuman tersebut sebenarnya menghalangi si terhukum untuk tidak kembali
kepada jarimah atau dengan kata lain membuatnya jera. Sementara para fuqoha’
mengartikan ta’zir dengan hukuman yang tidak detentukan oleh al qur’an dan
hadits yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah dan hak hamba
yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada si terhukum dan mencegahnya untuk
tidak mengulangi kejahatan serupa. Ta’zir sering juga disamakan oleh fuqoha’
dengan hukuman terhadap setiap maksiyat yang tidak diancam dengan hukuman had
atau kaffarat.
Bisa dikatakan pula, bahwa ta’zir adalah suatu jarimah yang diancam
dengan hukuman ta’zir (selain had dan qishash), pelaksanaan hukuman ta’zir,
baik yang jenis larangannya ditentukan oleh nas atau tidak, baik perbuatan itu
menyangkut hak Allah atau hak perorangan, hukumannya diserahkan sepenuhnya
kepada penguasa. Hukuman dalam jarimah ta’zir tidak ditentukan ukurannnya atau
kadarnya, artinya untuk menentukan batas terendah dan tertinggi diserahkan
sepenuhnya kepada hakim (penguasa). Dengan demikian, syari’ah mendelegasikan
kepada hakim untuk menentukan bentuk-bentuk dan hukuman kepada pelaku jarimah.
2. Abd Qodir Awdah membagi jarimah ta’zir
menjadi tiga unsur, yaitu :
a.
Jarimah hudud
dan qishash diyat yang mengandung unsur shubhat atau tidak memenuhi syarat,
namun hal itu sudah dianggap sebagai perbuatan maksiyat, seperti pencurian
harta syirkah, pembunuhan ayah terhadap anaknya, dan percurian yang bukan harta
benda.
b.
Jarimah ta’zir
yang jenis jarimahnya ditentukan oleh nas, tetapi sanksinya oleh syari’ah
diserahkan kepada penguasa, seperti sumpah palsu, saksi palsu, mengurangi
timbangan, menipu, mengingkari janji, menghianati amanah, dan menghina agama.
c.
Jarimah ta’zir
dimana jenis jarimah dan sanksinya secara penuh menjadi wewenang penguasa demi
terealisasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi
perimbangan yang paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap peraturan
lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran .
Dalam
menetapkan jarimah ta’zir, prinsip utama yang menjadi acuan penguasa adalah
menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari
kemudharatan (bahaya). Di samping itu, penegakkan jarimah ta’zir harus sesuai
dengan prinsip syar’i.
Hukuman-hukuman ta’zir banyak jumlahnya, yang dimulai dari hukuman
paling ringan sampai hukuman yang terberat. Hakim diberi wewenang untuk memilih
diantara hukuman-hukuman tersebut, yaitu hukuman yang sesuai dengan keadaan
jarimah serta diri pembuatnya. Hukuman-hukuman ta’zir antara lain.
1. Hukuman mati
Pada dasarnya menurut syari’ah
Islam, hukuman ta’zir adalah memberikan pengajaran (ta’dib) dan tidak sampai
membinasakan. Oleh karena itu, dalam hukuman ta’zir tidak boleh ada pemotongan
anggota badan atau penghilangan nyawa. Akan tetapi beberapa fuqoha’ memberikan
pengecualian dari aturan umum tersebut, yaitu kebolehan dijatuhkan hukuman mati
jika kepentingan umum menghendaki demikian, atau kalau pemberantasan tidak bisa
terlaksana kecuali dengan jalan membunuhnya, seperti mata-mata, pembuat fitnah,
residivis yang membahayakan. Namun menurut sebagian fuqoha’ yang lain dalam
jarimah ta’zir tidak ada hukuman mati.
2. Hukuman Jilid
Dikalangan fuqoha’ terjadi
perbedaan tentang batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zir. Menurut pendapat
yang terkenal di kalangan ulama’ Maliki, batas tertinggi diserahkan kepada
penguasa karena hukuman ta’zir didasarkan atas kemaslahatan masyarakat dan atas
dasar berat ringannya jarimah. Imama Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa
batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zir adalah 39 kali, dan menurut Abu
yusuf adalah 75 kali.
Sedangkan di kalangan madzhab
Syafi’I ada tiga pendapat. Pendapat pertama sama dengan pendapat Imam Abu
Hanifah dan Muhammad. Pendapat kedua sama dengan pendapat Abu yusuf. Sedangkan
pendapat yang ketiga, hukuman jilid pada ta’zir boleh lebih dari 75 kali,
tetapi tidak sampai seratus kali, dengan syarat lain bahwa jarimah ta’zir yang
dilakukan hampir sejenis dengan jarimah hudud.
Dalam mazhab Hambali ada lima
pendapat. Tiga diantaranya sama denga pendapat madzhab Imam Syafi’i. pendapat
ke empat mengatakan bahwa jilid yang diancam atas sesuatu perbuatan jarimah
tidak boleh menyamai hukuman yang dijatuhkan terhadap jarimah lain yang
sejenis, tetapi tidak boleh melebihi hukuman jarimah lain yang tidak
sejenisnya. Pendapat ke lima mengatakan bahwa hukuman ta’zir tidak boleh
melebihi 10 kali.
3. Hukuman-Kawalan (Penjara Kurungan)
Ada dua macam hukuman kawalan dalam
hukum Islam. Pembagian ini didasarkan pada lama waktu hukuman. Pertama, hukuman
kawalan terbatas. Batas terendah dari hukuman ini adalah satu hari, sedangkan
batas tertinggi, ulama’ berbeda pendapat. Ulama’Syafi’iyyah menetapkan batas
tertingginya satu tahun, karena mereka mempersamakannya dengan pengasingan dalam
jarimah zina. Sementara ulama’-ulama’ lain menyerahkan semuanya kepada penguasa
berdasarkan maslahat.
Kedua, hukuman kawalan tidak
terbata. Sudah disepakati bahwa hukuman kawalan ini tidak ditentukan terlebih
dahulu, melainkan berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik
pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya
atau orang yang berulang ulang melakukan jarimah-jarimah yang berbahaya.
4. Hukuman Salib
Hukuman salib sudah dibicarakan
dalam jarimah gangguan keamanan (hirobah), dan untuk jarimah ini hukuman
tersebut merupakan hukuman had. Akan tetapi untuk jarimah ta’zir hukuman salib
tidak dibarengi atau didahuli dengan oleh hukuman mati, melainkan si terhukum
disalib hidup-hidup dan tidak dilarang makan minum, tidak dilarang mengerjakan
wudhu, tetapi dalan menjalankan shalat cukup dengan isyarat. Dalam penyaliban
ini, menurut fuqoha’ tidak lebih dari tiga hari.
5. Hukuman Ancaman (Tahdid), Teguran (Tahbih) dan
Peringatan
Ancaman juga merupakan salah
satu hukuman ta’zir, dengan syarat akan membawa hasil dan bukan hanya ancaman
kosong. Misalnya dengan ancaman jilid, dipenjarakan atau dihukum dengan hukuman
yang lain jika pelaku mengulangi tingdaknya lagi.
Sementara hukuman teguran
pernah dilakukan oleh Rasulullah terhadap sahabat Abu Dzar yang memaki-maki
orang lain dengan menghinakan ibunya. Maka Rasulullah saw berkata : “wahai Abu
Dzar, engakau menghina dia dengan menjelek-jelekkan ibunya. Engkau adalah orang
yang masih dihinggapi sifat-sifat masa jahiliyah”.
Hukuman peringatan juga
diterapkan dalam syari’at Islam dengan jalan memberikan nasehat, kalau hukuman
ini cukup membawa hasil. Hukuman ini dicantumkan dalam al qur’an sebagaimana
hukuman terhadap istri yang berbuat dikhawatirkan berbuat nusyuz.
6. Hukuman Pengecualian (Al Hajru)
Hukuman pengucilan merupakan
salah satu jenis hukuman ta’zir yang disyari’atkan oleh Islam. Dalam sejarah,
Rasulullah pernah melakukan hukuman pengucilan terhadap tiga orang yang tidak
ikut serta dalam perang Tabuk, yaitu Ka’ab bin Malik, Miroroh bin Rubai’ah dan
Hilal bin Umayyah. Mereka dikucilkan selama lima puluh hari tanpa diajak
bicara, sehingga turunlah firman Allah :
“ dan terhadap
tiga orang yang tinggal, sehingga apabila bumi terasa sempit oleh mereka
meskipun dengan luasnya, dan sesak pula diri mereka, serta mereka mengira tidak
ada tempat berlindung dari Tuhan kecuali padaNya, kemudian Tuhan menerima
taubat mereka agar mereka bertaubat”
7. Hukuman Denda (Tahdid)
Hukuman denda ditetapkan juga
oleh syari’at Islam sebagai hukuman. Antara lain mengenai pencurian buah yang
masih tergantung dipohonnya, hukumannya didenda dengan lipat dua kali harga buah
tersebut, disamping hukuman lain yang sesuai dengan perbuatannya tersebut.
Sabda Rasulullah saw. “dan barang siapa yang membawa sesuatu keluar, maka
atasnya denga sebanyak dua kalinya beserta hukuman.” Hukuman yang sama juga
dikenakan terhadap orang yang menyembunyikan barang hilang.
Perbedaan Jarimah Ta’zir dengan Hudud:
Perbedaan yang
menonjol antara jarimah hudud, qishas, dan jarimah ta’zir
a.
Dalam jarimah
hudud tidak ada pemaafan, baik oleh perorangan maupun oleh ulul amri. Sedangkan
jarimah ta’zir kemungkinan pemaafan itu ada, baik oleh perorangan maupun oleh
ulul amri, bila hal itu lebih maslahat.
b.
Dalam jarimah
ta’zir hakim dapat memilih hukum yang lebih tepat bagi si pelaku sesuai dengan
kondisi pelaku, situasi, dan tempat kejahatan. Sedangkan dalam jarimah hudud
yang diperhatikan oleh hakim hanyalah kejahatan material.
c.
Pembuktian
jarimah hudud dan qishas harus dengan saksi atau pengakuan, sedangkan
pembuktian jarimah ta’zir sangat luas kemungkinannya.
d.
Hukuman Had
maupun qishas tidak dapat dikenakan kepada anak kecil, karena syarat
menjatuhkan had si pelaku harus sudah baligh sedangkan ta’zir itu bersifat
pendidikan dan mendidik anak kecil boleh.
B. PEMBAGIAN
JARIMAH TA'ZIR
Addul Qodir audah membagi tiga
hukuman terhadap jarimah ta'zir yaitu:
Jarimah hudud dan qishash
diyat yang mengadung unsur shubhat atau tidak
memenuhi syarat namun hal itu sudah dianggap sebagai perbuatan maksiat
seperti pencurian harta syirkah,pembunuhan ayah terhadap anaknya dan pencurian
yang bukan harta benda.
Jarimah ta'zir dimana jenis jarimah di
tentukan oleh nash,tetapi saksinya oleh syariat diserahkan kepada penguasa
seperti sumpah palsu,sakit palsu,mengurangi timbangan,menipu,mengikari
janji,menghianati amanah,dan menghina agama.
Jarimah ta'zir dimana jarimah
dan saksinya secara penuh menjadi wewenang penguasa demi terealisasinya
kemaslahatan umat.dalam hal ini akhak menjadi pertimbangan yang paling utama
minsalnya pelanggaran terhadap peraturan lingkungan hidup ,lalu lintas,dan pelanggaran
terhadap pemerintah lainnya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesmpulan
Secara umum, pengertian jinayat
sama dengan hukum pidana pada hukum positif, yaitu hukum yang mengatur
perbuatan yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh,
melukai dan lain sebagainya. Jarimah (kejahatan) dalam hukum pidana Islam
(jinayat) meliputi, jarimah hudud, qishas diyat, dan ta’zir.
Ta’zir adalah hukuman yang tidak
ditentukan oleh al qur’an dan hadits yang berkaitan dengan
kejahatan yang melanggar hak Allah dan hak
hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada si terhukum dan mencegahnya
untuk tidak mengulangi kejahatan yang serupa, penentuan jenis pidana ta’zir ini
diserahkan sepenuhnya kepada penguasa sesuai dengan kemaslahatan menusia itu
sendiri. Menuurut hemat penulis, diantara jenis-jenis hukuman ta’zir yang telah
penulis kemukakan dalam pembahasan, tidak semuanya relevan untuk diterapkan
pada zaman ini, seperti hukuman jilid dan salib karena dinilai sangat keji.
Sementara mengenai hukuman mati dalam ta’zir, penulis sependapat dengan ulama’
yang membolehkannya sepanjang sejalan dengan kemaslahatan manusia. Tetapi
secara umum, mengenai jenis hukuman yang relevan untuk jarimah ta;zir ini harus
disesuaikan dengan kejahatan yang dilakukan agar hukuman dalam suatu peraturan
bisa parallel. Untuk menentukan hukuman yang relevan dan efektif, harus
mempertimbangkan agar hukuman itu mengandung unsure pembalasan, perbaikan, dan
perlindungan terhadap korban (Theori neo-klasik), serta dilakukan penelitian
ilmiyah terlebih dahulu.
Daftar Pustaka
Al-Syirasi,
Al-Muhadzab, Isa Al-bab al-halabi, Mesir: 1950
Al-Mawardi, al-sulthoniyah, Al-Ahkam,
Mesir: 1973
Abdul Aziz Amir, Ta’zir fil
syariah, Dar al-Fikr al-Arabi, Mesir: 1969
Ibn Abidin, Hasyiyah Ibn Abidin, Mustafa
al-babal-Halabi, Mesir: 1966
Al-Buhuti, Kasyaf al-qina, Mathba’ah
al-Hukumah, Mesir: 1934
1 comments:
Bermanfaat sekali. Jika berkenan bisa saling sapa lewat serambiharis.blogspot.com
Post a Comment